(Bahasa Indonesia) Hujan Batu di Negeri Seberang

Author

Sorry, this entry is only available in Indonesian.

Wawan Wiyono TKI Malaysia. Foto oleh : Farchan Noor Rachman
Wawan Wiyono TKI Malaysia. Foto oleh: Farchan Noor Rachman

“Mas jawane endi mas?”

Tiba-tiba sesosok pria paruh baya mendekati saya, waktu itu saya, adik dan ibu saya sedang di Dataran Merdeka, kami hendak berbelanja di KL City Gallery, sedikit kaget disapa dengan bahasa Jawa, mungkin karena kami sekeluarga bercakap dengan bahasa jawa, jadi tahu kami orang jawa. Saya pun langsung menjawab.

“Magelang pak, panjenengan?”

“Oalah, Jawa Tengah, Ketemu dulur, aku soko Jawa Timur mas..” jawab pria tersebut sambil menjabat tangan saya erat-erat. Dan akhirnya kami sekeluarga malah berhenti lama untuk berbincang dengan bapak-bapak tadi.

Namanya, Pak Wawan, sudah lebih 20 tahun merantau ke Malaysia, katanya sejak lulus sekolah menengah. Dengan susah payah dia menyeberang negeri, menjalin hidup di negeri asing berpuluh tahun demi sesuatu yang lebih baik. Jangan bayangkan pekerjaannya adalah pekerjaan mentereng di negeri jiran. Siang itu, Wawan, begitu panggilannya sedang membenahi trotoar di Dataran Merdeka. Di tengah terik mentari, Wawan mengangkut satu demi satu beton, mengaduk semen dan menatanya untuk menjadi jalinan trotoar.

“Yo, ngene-ngene iki mas gaweanku, penting cukup nggo keluarga,” kata Wawan. Dia tampak bangga dengan pekerjaannya. Dengan pekerjaannya sekarang, Wawan bisa menghidupi istri dan buah hatinya.

Di balik rompi kuningnya, bajunya penuh peluh, sesekali dia mengusap kepalanya yang nyaris botak karena kepanasan. Wawan tampak sumringah bertemu kami, sesama orang Jawa.

“Jarang mas nemu wong jowo nggo boso jowo nang KL mas, biasane do nganggo bahasa Indonesia, untuk enek njenengan mau sing nggo boso jowo,” katanya sambil tersenyum lebar.

“Njenengan tinggal ting pundi pak?” tanya saya,

“Kiro-kira 30 kilo seko kene mas, ben esuk mangkat, mengko bengi moleh,” logat Jawa Timur-nya lugas menjawab pertanyaan saya. Orang Jawa Timur memang cenderung lebih tegas dan lugas dalam bercakap dengan bahasa jawa. Berbeda dengan orang Jawa Tengah.

Di sela-sela pekerjaannya, Wawan dengan ramah menyambut kami, berbincang tentang hidup di Malaysia, berbincang tentang tempat – tempat menarik dan tentang banyak hal lain lagi. Sepanjang pengalaman saya di rantau, sesama orang Jawa memang akan saling sapa jika bertemu di tempat asing, sekalipun tidak saling kenal, beberapa saat kemudian kami, orang Jawa, akan langsung terlibat percakapan seolah seperti saudara jauh yang sudah lama tidak bersua.

Bukan maksud chauvinis, tapi orang Jawa, yang saya maksud adalah orang-orang Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur memang salah satu perantau ulung di Indonesia dan bisa ditemui dimana saja. Dan karakter orang Jawa yang rata-rata sumeh, jarang curiga dan terbuka membuat, kami sesama orang Jawa jika di rantau cepat akrab jika bersua.

Sebagai pekerja, Wawan sudah 20 tahun lebih di Malaysia dengan begitu dia sudah memiliki hak sebagai citizen, sementara istri dan anaknya malah sudah berstatus Warga Negara Malaysia.

“Tapi aku tetep merah putih mas, sampe matek merah putih,” jawab Wawan lugas. Mendadak nasionalisme saya membuncah sesaat, walau sedang tidak sedang menghormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bagaimanapun, walau sudah 20 tahun di negeri seberang, Wawan tetap memegang teguh Merah Putih di hatinya.

Bertemu Wawan saya lantas teringat dengan bagaimana pilunya kisah-kisah pencari kerja asal tanah air di negeri seberang. Jarang sekali kisah bahagia yang bisa dibaca, hampir selalu kisah pilu, penyiksaan tiada akhir, kekejian majikan sampai kisah terlunta-lunta di negeri orang tanpa perlindungan.

Saya berharap Wawan tidak demikian, semoga dia selalu baik-baik saja di sana, saya masih teringat lirihnya ucapannya ketika dia memilih pergi ke negeri seberang, negeri yang asing di masa mudanya, demi hidup yang lebih baik, itu katanya. Dan harap itu masih menyala sampai sekarang, dia berkisah tentang anaknya yang juga tetap di Malaysia, supaya dia mendapat pendidikan lebih baik dan tidak bernasib seperti bapaknya, begitu kata Wawan sebelum berpisah.

Saya lantas teringat dengan peribahasa yang sudah diajarkan sejak jaman sekolah dasar “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri”. Peribahasa ini konon mengandung makna cinta tanah air di dalamnya, serta imbuhan nasionalisme agar selalu bangga pada negeri sendiri.

Tapi saya kira, peribahasa itu sekarang perlu direvisi. Membandingkan kesenangan dengan kesusahan bukanlah bandingan yang pas, hujan batu dengan hujan emas? bukan sesuatu yang sebanding. Pun demikian, tidak serta merta orang yang pergi meninggalkan negeri lalu berkalang dan mandi emas. Peribahasa macam ini jika dipikir-pikir malah jadi bahan untuk mencibir orang-orang Indonesia di luar negeri.

Tidak selamanya peribahasa berisi kata bijak itu harus dianut. Saya mencoba berpikir sebentar, apa orang-orang yang memperjuangkan nasibnya sendiri masih harus dicibir? Kasarnya begini. Di Indonesia mungkin mereka tidak ada kesempatan, sawah habis, ladang tak ada, pekerjaan kasar dibayar murah, lantas mereka melirik ke luar negeri. Apa salah mereka yang memilih demikian? Tidak nasionalis? Tidak cinta tanah air? Saya kira tidak.

Manusia memiliki hak untuk hidup, itu berarti tiap manusia masing-masing juga punya hak untuk memperjuangkan hidupnya. Selama dia memperjuangkan hidupnya dengan cara yang benar, maka dia bebas memperjuangkan hidupnya dengan cara bagaimanapun sesuai kesanggupannya.

Para pelanglang buana, para perantau, mereka yang menyeberang ke negeri seberang adalah orang yang memperjuangkan hidupnya, orang yang tak mau menyerah pada nasib, daripada menyerah berpangku tangan di negeri sendiri mereka meneguhkan tekad dan bekerja keras di negeri orang, beban mereka, perjuangan mereka saya kira dua kali lipat dari pada perjuangan kita disini.

Takdir orang Indonesia itu perantau, maka merantaulah orang-orang Indonesia ke mana-mana. Bangsa Indonesia jika sesuai dongeng sejarah pun mulanya adalah para perantau dari Cina Selatan. Maka banggalah jika orang-orang Indonesia merantau, orang Indonesia adalah orang-orang dengan tradisi merantau.

Kasihan jika mereka yang sudah susah-susah ke luar negeri demi sekeping dua keping masa depan masih harus dicibir karena tidak mau hujan batu di negeri sendiri. Jika memang apa yang Wawan lakukan, siang bolong, mengangkat paving block, membuat adukan semen dianggap hujan emas di negeri orang, maka seperti apa yang hujan batu di negeri orang?

Negara kita sendiri rasanya lama-lama tidak menghargai warganya memang. Pernah kan mendengar kasus TKI yang terhinakan di luar negeri dan negara gagal melindungi. Saya kira bukan hanya pernah, tapi sering. Padahal mereka adalah warga negara yang lemah, tak punya kesempatan di dalam negeri, adu nasib di luar negeri, masih nelangsa dan parahnya, negara diam saja, mereka ditinggalkan negara mereka sendiri.

Orang Indonesia lebih suka memuja mereka yang kaya raya di luar negeri, orang Indonesia lebih suka mengagungkan yang berotak cemerlang dan sekolah tinggi-tinggi di luar negeri. Katanya itu rasa bangga sebagai orang Indonesia, katanya itu cermin orang Indonesia sudah mendunia. Lama-lama bangsa kita inferior secara diam-diam. Mereka pekerja – pekerja kasar di negeri orang dianggap aib bangsa, dianggap kelas Paria, dianggap tak ada dan tak perlu prioritas, tak perlu dilindungi, padahal mereka sama – sama warga negara.

Saya ingat ketika saya pernah berbincang dengan seorang TKI di Soekarno Hatta ketika menanti penerbangan ke luar negeri di tengah malam. Dia hendak ke Taiwan, sementara saya ke Singapura, pesawat kami sama. Dia bercerita banyak tentang bagaimana dia harus kucing-kucingan dengan petugas BNP2TKI di bandara, tentang bagaimana ketika pulang ke Indonesia bukan kenyamanan yang didapat tapi berbagai pungli sejak masuk bandara, tentang bagaimana dia dipaksa naik mobil angkutan khusus TKI yang mahalnya minta ampun, tentang pemerasan yang membuat dia terpaksa kehilangan uang yang seharusnya untuk keluarga di kampung.

“Kadang saya sampe minta tolong penumpang lain biar dianggap sodara. Saya ga mau diseret, dipingpong sana-sini mentang – mentang TKI, berat mas, tapi mau bagaimana lagi?” keluhnya.

Betapa banyak berita miris tentang perlakuan terhadap TKI bahkan sejak sebelum mereka meninggalkan negeri ini. Bagaimana negara ini mau melindungi mereka di luar negeri, jika di dalam negeri sendiri mereka tidak dilindungi dan jadi makanan empuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Jika suatu saat ke bandara, sekali waktu lihatlah sejenak bagaimana rombongan-rombongan TKI itu seolah dipisahkan dari penumpang umum, muka-muka mereka kebingungan, mata mereka memancarkan raut cemas, bukankah ini makanan empuk bagi para oknum serigala berbulu domba? Dengan kardus – kardus dan tas – tas besar, bukan backpack mahal tapi kadang tas kain kotak berukuran besar yang sudah bertambal sana-sini, muka lusuh, mereka menenteng nasibnya masing-masing, entah nasib baik, entah nasib buruk, tak ada yang tahu.

Ketika di LCCT bulan lalu, saya sempat satu pesawat dengan rombongan TKI, ketika keluar dari pesawat muka mereka pucat pasi, cemas, gemetar. Dalam kebingungan mereka berjalan di selasar bandara, tidak ada yang tahu nasib mereka kelak, apa mereka akan bergelimang emas, atau berkalang batu, entah, tak ada yang tahu. Pertaruhan nasib kelak yang menentukan peruntungan mereka masing-masing di negeri seberang.

Tak hanya sekali saya bertemu sedulur orang Jawa di Kuala Lumpur, berikutnya saya bertemu dengan sepasang kakak – adik yang lagi-lagi dari Jawa Timur. Ketika itu saya sekeluarga sedang berbelanja oleh-oleh di Petaling Street, tiba-tiba si penjual yang awalnya bercakap bahasa Melayu mendadak berganti menjadi bahasa jawa dialek Suroboyoan.

“Mampir mas, akeh barang iki nggo oleh-oleh,” katanya. Saya pun surprise dan mampirlah saya di lapaknya. Lapaknya kecil saja, tapi isinya berbagai rupa, mulai dari gantungan kunci, patung-patung kecil sampai syal. Rupa-rupa dia jalankan usaha ini dengan suami dan kakak perempuannya yang baru – baru ini menyusul dari Indonesia. Mbak Rum namanya, asli Banyuwangi, sudah lama melanglang ke Kuala Lumpur, dia tak mau memberi tahu kapan persisnya dia datang ke Malaysia, pokoknya lebih dari 10 tahun katanya.

Di Kuala Lumpur setiap sore sampai dini hari, bahu membahu dengan kakaknya dia mengelola lapak jualannya. Setiap ada pembeli, diundangnya dengan setengah berteriak, makin malam makin serak. Sesekali dia mengusap keringat yang mengucur, ambil minum sejenak di sela-sela melayani pembeli yang mengunjungi lapaknya.

“Rejekine dewe-dewe mas, sing dodolan akeh soale,” jawabnya ketika saya tanya tentang hasil jualannya hari itu. Saya dibiarkannya mencari sendiri barang untuk oleh-oleh karena Mbak Rum dan kakaknya sibuk melayani pembeli lainnya.

Beberapa barang seperti gantungan kunci, kaos dan beberapa pernak-pernik akhirnya saya beli di sini, melengkapi yang sudah ada sebelumnya. Harganya pun rasanya cukup miring, dihitung gelondongan begitu saja oleh Mbak Rum, mungkin karena sama-sama orang Jawa? Entah, yang jelas di lapak Mbak Rum saya dan ibu saya bahkan nyaris tidak menawar, tiba-tiba saja diberi harga murah dan kami bayar.

“Jane paling males mas yen sing teko wong Indonesia, naware kadang gak kiro-kiro. Wong Indonesia iku yo mas mikire wes nawar sik sakdurunge tuku, rego durung ono wes nawar sek, sing dodol soro,” katanya sambil tertawa. Saya mengiyakan, kadang orang Indonesia memang sadis dalam hal tawar menawar dan mungkin Mbak Rum sendiri sudah hafal gelagat orang-orang Indonesia yang datang dan berbelanja di lapaknya.

Sepanjang Petaling memang penuh lapak jualan, semua menawarkan barang dagangannya, beberapa mungkin sampai banting harga agar laku. Berat memang berjualan di Petaling sepertinya, antara lapak satu dan lainnya jualannya hampir sama, harganya bahkan bisa hanya selisih 0,5 – 1 Ringgit. Penjual harus bertaruh, ambil marjin tipis atau pembeli minggat ke lapak sebelah.

Bagi saya Mbak Rum hebat, di sela-sela tawanya saat berbincang dengan saya, Mbak Rum masih wara-wiri melayani pengunjung lain, senyumnya tak putus walau terkadang ada helaan nafas panjang, mungkin dia sedikit lelah karena sedari tadi sudah layani pembeli. Bertahun-tahun bergulat dengan barang dagangan yang mungkin sudah menjadi jalan penghidupannya lambat laun mungkin menempa Mbak Rum menjadi seseorang perantau yang tahan banting.

Lain lagi ketika di Melaka, saya menginap di sebuah hostel murah di area Menara Tamingsari. Di sana penjaga hostel adalah seorang perempuan sunda. Saya panggil dia Teteh, asli dari Padalarang. Anaknya-lah yang membuat dia pergi merantau sampai Melaka. Dia harus menghidupi anaknya seorang diri waktu itu, kerja di pabrik tekstil dengan gaji di bawah UMR tidak cukup untuk hidup dia dan anaknya.

Merantaulah Teteh ke Melaka. Gajinya cukup besar untuk ukuran Indonesia, walau untuk ukuran Melaka dia bilang itu kecil. Tapi tak apa katanya, kerja di hostel enak, tidak berat, hanya bersih-bersih dan makan pun sudah ditanggung. Lebih enak lagi dia punya bos yang baik hati, urusan izin imigrasi selalu diuruskan oleh si bos karena dia puas dengan kerja Si Teteh. Pulang ke Indonesia pun bisa setahun sekali, bahagia hidup Si Teteh di Melaka.

Katanya begini “Jadi buruh pabrik tekstil, sudah kudu lembur, gaji kecil. Disini tak apalah, masih bisa kirim duit buat Anak dan Abah di kampung, masih bisa pulang jenguk keluarga sebentar”.

Teteh lantas bercerita, di sekitar tempat saya menginap sebenarnya banyak orang Indonesia, rata-rata dari Jawa Tengah dan jadi tukang masak di banyak rumah makan di Melaka. Pantas saja, ketika saya beli sarapan di rumah makan dekat hostel, sayurnya ada bau-bau jawa, bumbunya manis dan kata Si Teteh tempat saya makan itu tukang masaknya memang orang-orang Jawa.

Tidak semua orang berani konsisten berjuang di negeri seberang seperti Wawan, Mbak Rum dan Si Teteh. Keluarga saya pun ada yang pernah memilih mencari penghidupan di negeri orang. Dari 5 orang keluarga besar saya, hanya 1 yang mampu bertahan sampai pensiun. 4 sisanya hanya tahan 1-2 tahun, tidak betah lalu pulang ke Indonesia.

Adik ipar bapak saya-lah satu-satunya keluarga yang mampu bertahan sampai mendulang kesuksesan. Dia bercerita, awal-awal di negeri jiran itu neraka, apalagi dia tinggal di kompleks pabrik kayu lapis yang sepi di daerah Kuching. Kala itu, awal 90-an, Kuching belum semaju sekarang, masih daerah yang sepi. Tekanan, diskriminasi, pandangan rendah terhadap pekerja Indonesia yang dianggap pekerja kasar itu dihadapi satu demi satu, sampai akhirnya paman saya itu 2 tahun lalu pensiun dengan posisi setingkat manajer setelah hampir 20 tahun bekerja di Kuching. Tidak semua sanggup begitu, tidak semua orang memiliki keteguhan dan keberanian untuk adu nasib di negeri seberang.

Saya angkat topi benar-benar pada mereka yang berani berjuang di tanah orang. Karena tak semua orang punya keberanian seperti Wawan, seperti Mbak Rum dan tak semua orang memilih hidup seperti mereka, baku hantam dengan nasib di negeri orang, mau susah payah menyambut hujan batu di negeri orang dengan harap mendatangkan emas kelak nanti, yang juga tak pasti. Katanya mereka pahlawan devisa, ya memang sesungguhnya begitu.

Negara seharusnya menghargai mereka dengan lebih layak, toh mereka sama-sama warga negara, sama-sama punya darah merah putih. Tak ada beda. Justru para TKI, para pekerja-pekerja kasar di negeri seberang itu sebegitu bangganya dengan Indonesia, mereka tak mau hilang identitas Indonesia-nya. Sekali waktu di Stasiun KL Sentral saya bertemu dengan serombongan pekerja-pekerja dari Indonesia, dan apa yang mereka pakai? Kaos hitam dengan sablon emas berukuran besar bergambar Garuda Pancasila di bagian depan. Mereka tegak berjalan membusungkan dada seolah berkata dengan bangga “ini lho aku orang Indonesia.”

Masih ada banyak Wawan-wawan, Mbak Rum-mbak rum yang lain yang bekerja di negeri seberang. Ada yang beruntung dapat majikan bagus, ada yang beruntung bisa punya usaha sendiri, tapi ada yang kurang beruntung yang jadi buruh sawit, ada yang kurang beruntung karena punya majikan bengis. Sayangnya sedemikian banyaknya saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri, tapi sedikit yang peduli. Bahkan sisa-sisa inferioritas bersemayam di hati, sedikit berbisik mencibir sodara-sodara kita yang TKI, padahal mereka hanya berjuang untuk hidup di negeri seberang, tak ada yang salah dalam diri mereka.

Coba pikir ulang, tak selamanya hidup di negeri seberang itu berarti hujan emas. Terkadang malah hujan batu sampai berdarah-darah. Jika hidup di negeri sendiri sudah susah, lalu memutuskan menyeberang tak lantas membuat hidup mereka jadi indah, kadang susahnya berlipat dua, justru kita harus angkat topi, mereka orang-orang hebat, punya tekad kuat, bukan justru dianggap sebelah mata. Tapi haqqul yaqin, sesusah-susahnya hidup di seberang, masih berdegup merah putih di jantung mereka. Mau sejauh apapun, kemanapun orang Indonesia adu nasib, orang Indonesia akan tetap merah putih dan jika bersua, saya yakin mereka akan saling menyapa “Apa kabarnya?”

Arti percakapan bahasa Jawa – Indonesia dalam teks.

“Mas jawane endi mas?”  : Mas jawanya dari mana?

“Magelang pak, panjenengan?” : Magelang pak, kamu?  (kromo inggil/jawa bahasa halus)

“Oalah, Jawa Tengah, Ketemu dulur, aku soko Jawa Timur mas..”  : Oalah, Jawa Tengah, Ketemu Saudara, aku dari Jawa Timur mas..

“Yo, ngene-ngene iki mas gaweanku, penting cukup nggo keluarga” : Ya begini ini pekerjaanku mas, yang penting cukup untuk (menghidupi) keluarga.

“Jarang mas nemu wong jowo nggo boso jowo nang KL mas, biasane do nganggo bahasa Indonesia, untuk enek njenengan mau sing nggo boso jowo” : Jarang mas ketemu orang jawa pake bahasa jawa di KL, biasanya pakai bahasa Indonesia, untung ada kamu tadi yang pake bahasa jawa.

“Njenengan tinggal ting pundi pak?” : Kamu tinggal dimana pak?  (kromo inggil/jawa bahasa halus)

“Kiro-kira 30 kilo seko kene mas, ben esuk mangkat, mengko bengi moleh” : Kira-kira 30 kilometer dari sini mas, tiap pagi berangkat, malam pulang.

“Tapi aku tetep merah putih mas, sampe matek merah putih” : Tapi aku tetap merah putih mas, sampai mati merah putih.

“Mampir mas, akeh barang iki nggo oleh-oleh” : Mampir mas, ada banyak barang buat oleh-oleh

“Rejekine dewe-dewe mas, sing dodolan akeh soale” : Rejeki masing-masing mas, banyak yang jualan soalnya.

Jane paling males mas yen sing teko wong Indonesia, naware kadang gak kiro-kiro. Wong Indonesia iku yo mas mikire wes nawar sik sakdurunge tuku, rego durung ono wes nawar sek, sing dodol soro” : Sebenarnya paling malas kalau yang datang orang Indonesia, nawarnya ga kira-kira. Orang Indonesia itu ya mas, mikirnya sudah nawar aja padahal belum beli, belum ada harga sudah nawar duluan, penjualnya kasihan.

Tulisan oleh

Farchan Noor Rachman/http://efenerr.com/

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.