Buruh Migran Perlu Waspadai PJTKI Nakal

Author

Ilustrasi Calo, Karya Irvan Muhammad
Ilustrasi Calo, Karya Irvan Muhammad

Indonesia ialah salah satu negara pengekspor buruh migran ke berbagai negara. Kebutuhan ekonomi yang tinggi, sedikitnya lapangan pekerjaan dan kurangnya pekerjaan dengan gaji layak, membuat sebagian rakyat Indonesia terpaksa menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI). Praktik human trafficking di negara ini pun sudah jamak kita dengar. Kasus human trafficking marak terjadi salah satunya disebabkan oleh iming-iming janji manis sponsor atau calo tentang negara penempatan.

Sponsor atau calo sering tidak memperhatikan umur, ketrampilan atau pun pendidikan calon buruh migran. Banyak dari mereka yang bilang, asal fisik sehat yang lain bisa diatur. Cara-cara tersebut lancar dilakukan karena minimnya instansi pemerintah berkewenangan (Dinas Tenaga Kerja dan Kementerian Tenaga kerja) melakukan sidak ke lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penempatan buruh migran, seperti PJTKI/PPTKIS.

Berbicara mengenai PJTKI/PPTKIS, tindakan jual dan beli bendera PJTKI bukan hal baru dan bukan menjadi rahasia lagi. Bendera yang dimaksud di sini bukanlah bendera yang dikibarkan di tiang bendera. Ini hanya istilah yang dipakai Abdul Rahim Situros, Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) dalam pembicaraan via WhatsApp dengan saya. Bendera PJTKI/PPTKIS adalah Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan berlaku lima tahun.

PJTKI/PPTKIS nakal yang menjual dan membeli SIPPTKI inilah yang patut diwaspadai. Lantas bagaimana cara mereka menjual dan membeli?

Saya akan mencontohkan dengan cerita saya ketika proses penempatan ke Taiwan beberapa tahun silam. Saya direkrut oleh PL dan tidak memperhatikan PJTKI yang saya masuki status perizinannya seperti apa. Dalam proses awal (medical) memang mengunakan nama PJTKI tersebut, tetapi selanjutnya ketika proses ujian kompetensi, PAP dan paspor, saya dan buruh migran lain harus menghafal nama sebuah PJTKI yang lebih besar dari PJTKI sebelumnya. Itulah yang dinamakan menjual dan membeli SIPPTKI. Pihak PJTKI yang memberikan izin PJTKI lain menggunakan namanya untuk proses adalah penjual. Sedangkan pemakai nama PJTKI adalah pembeli. Di sini nasib buruh migran juga menjadi taruhan.

Dalam proses penempatan, saya masih beruntung mendapatkan agensi dan bos yang baik. Namun belum sampai habis kontrak, saya mendapat kabar bahwa PJTKI tempat proses telah gulung tikar. Lantas bagaimana jika ternyata TKI mendapat masalah di negara penempatan hingga dipulangkan sepihak? Kepada PJTKI mana mereka harus mengadu kalau ternyata PJTKI yang memberangkatkan mereka bangkrut?

Menurut Abdul Rahim Sitorus, bila sampai terjadi masalah yang datang bukan dari buruh migran, sudah sepatutnya buruh migran TKI berhak meminta pertanggungjawaban ke PJTKI yang menjual bendera tersebut, yang secara tidak langsung telah mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI nya. Pada kenyataannya, banyak buruh migran yang tidak mengerti akan hal ini. Ketika mereka merasa dirugikan, mereka mendatangi PJTKI/PPTKIS tempat mereka proses, padahal dalam status hukum PJTKI tersebut sejak dari mereka proses tidak lagi punya kuasa.

Di sini peran pemerintah lagi-lagi dipertanyakan. Mana bukti slogan Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi? Kemenaker diharapkan jangan hanya menggenjot bagaimana cara meningkatkan remitansi saja, tetapi juga bagaimana melindungi buruh migran sejak pra penempatan. Pemerintah sebaiknya ketat dalam pemberian SIPPTKI dan memberikan sanksi pada PJTKI yang melakukan pelanggaran. Kemenaker juga perlu memberitakan secara berkala nama-nama PJTKI yang bermasalah dan masuk daftar hitam.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.