“Menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia bukan pilihan terbaik,” ungkap Desi Lastati (23), seorang buruh migran asal Temanggung, Jawa Tengah.

Pada mulanya ia tidak pernah terpikir akan bekerja di Malaysia sebagai TKI. Jenjang pendidikan SMA ternyata tidak bisa menjamin ia mendapatkan pekerjaan yang bagus di Indonesia. Ia berharap dengan ijazah yang dimiliki bisa menjadi guru bantu di sekolah-sekolah, namun tak berhasil. Pernah ia mencoba mendaftarkan diri sebagai guru bantu di salah satu sekolah di daerahnya seperti yang dilakukan oleh teman-temannya lain. Desi ditolak lantaran belum kuliah dan saat itu ia tidak mampu untuk melanjutkan kuliah.

Selanjutnya ia mengajukan beberapa lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Ternyata tidak mudah dan perlu menunggu. Kalaupun diterima, hanya bekerja sebagai karyawan toko. Sungguh ia merasa tidak seimbang dengan pengorbanan keluarganya yang telah membiayai sekolah hingga ke SMA. Ada perasaan malu, sedih, ketika tidak bisa bekerja di tempat yang bagus seperti teman-temannya yang lain.

September 2010, setelah hari raya idul fitri, ia memutuskan untuk ikut kakaknya yang sudah dua tahun bekerja di Malaysia. Desi berangkat dengan cara menjadi pelancong tanpa bekal pengetahuan menjadi TKI. Ia berani karena majikan menanggung sepenuhnya segala uang transportasi dan biaya pembuatan visa kerja. Di tahun 2010 tersebut, TKI masih diperbolehkan mengajukan permit kerja meski sebagai pelancong. Namun pengajuan permit sudah tidak bisa lagi saat ini.

Saat mengajukan visa kerja, ternyata ia ditolak karena usia tidak cukup. Saat itu usianya baru 19 tahun dan syarat mengajukan visa kerja bagi Penata Laksana Rumah Tangga
(PLRT) adalah 21 tahun. Majikan sempat menyuruhnya pulang karena takut jika ditangkap polisi karena illegal, namun ia nekat untuk tetap tinggal di Malaysia dengan segala risiko.

Raut muka dan gaya bahasanya yang seperti warga Sabah membuat ia aman saat ada Razia. Selain itu ia juga harus berpura-pura seperti warga Malaysia, baik dalam berbusana dan lain sebagainya. Setelah dua tahun tinggal di Malaysia tanpa ada kejelasan dokumen, Negara Malaysia membuka program 6P bagi Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) dan ia dinyatakan lulus seleksi.

Menjadi TKI legal adalah impian setiap warga negara yang bekerja di Malaysia. Setelah Desi lulus, kesempatan belajar perlahan-lahan mulai terbuka, mulai dari kursus bahasa dan seminar-seminar yang diadakan oleh TKI-TKI lain. Pergaulan tersebut semakin membuka wawasan baru. Minatnya dalam bidang menulis membuatnya bisa bertemu dengan penulis-penulis senior dari Indonesia. Desi tak menyangka bisa bertemu sekaligus belajar bersama dengan Pipiet Senja, Gol A Gong, Saptuari Sugiharto, yang dulunya hanya dikenal lewat buku-buku yang pernah dibaca.

Bahkan tawaran menulis buku datang dari Gol A Gong saat melakukan tour literasi ke Malaysia bersama Rumah Dunia. Ada 10 peserta yang diminta untuk menulis dan akan dipilih salah satu karya terbaik. Karya tulis Desi merupakan salah satu yang terpilih untuk dijadikan buku. Next Station adalah judul buku yang ditulis bersama-sama rombongan backpacker berisi kisah-kisah perjalanan sepanjang melakukan tour literasi dari singapura, Melaka, dan Kuala Lumpur.