MoU Indonesia-Malaysia, Belum Lindungi Hak-Hak BMI

Author

Kontrak Kesepakatan/ MoU Indonesia dan Malaysia belum lindungi hak-hak BMI.
Kontrak Kesepakatan/ MoU Indonesia dan Malaysia belum lindungi hak-hak BMI.

Wahai kawan-kawan BMI, pernahkah anda sekalian membaca isi kontrak kesepakatan bersama antara pemerintah kita dengan pemerintah di negara penempatan anda bekerja? Jika belum, ada baiknya kalau kawan-kawan mulai membacanya. Hal ini penting untuk mengkritisi isi kesepatan atau MoU (Memorandum of Understanding) tersebut.

Bila kawan-kawan mau jeli dalam membacanya, pasti akan ditemukan beberapa poin kesepakatan yang masih ambigu dan bahkan tak memihak BMI. Maka tak mengherankan bila hingga saat ini masih ada kasus ketidakadilan yang menimpa BMI di negara penempatan, meski MoU sudah ada. Salah satu contoh isi kesepakatan yang ambigu, berhasil diidentifikasikan oleh Tim Pusat Sumber Daya Buruh Migran. Identifikasi tersebut ditemukan dalam MoU antara Pemerintah RI dengan Malaysia mengenai aturan penempatan kerja bagi pekerja domestik (Penata Laksana Rumah Tangga/ PLRT).

Melalui data yang dibuat oleh Dewan Bar/ Pengacara Malaysia pada 16 Juli 2008, diketahui bahwa Indonesia masih belum mengatur dengan terperinci soal hak-hak buruh migran, khususnya PLRT. Beberapa analisis yang menunjukkan ketidaktegasan Pemerintah RI dalam membuat MoU dengan Malaysia ditunjukkan melalui beberapa poin diantaranya:

1. Hari istirahat – Dalam kontrak kesepakatan yang dibuat oleh Filipina, Sri Lanka dan India terdapat ketetapan/ ketentuan untuk membayar hari istirahat mingguan bagi warga negara mereka. Hal ini tidak terdapat dalam ketatapan pemerintah Indonesia dan Kamboja.
2. Jam Kerja – Dalam kontrak kesepakatan dengan India, disebutkan bahwa gaji bulanan adalah gaji yang diberikan pada warga negara India yang bekerja 8 jam sehari. Sedangkan kontrak kesepakatan dengan Filipina, masalah jam kerja memang tak disebutkan dengan spesifik. Namun demikian, pihak Filipina tetap menuntut agar warga negaranya di Malaysia disediakan waktu istirahat minimal 8 jam sehari. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah kita tak menyebutkan angka pasti berapa lama seharusnya BMI bekerja. Hanya ada kalimat “adequate rest” atau istirahat yang memadai.
3. Variasi dalam Kontrak Kesepakatan – Dalam kontrak kesepakatan dengan India, disebutkan bahwa adanya variasi dalam kontrak kesepakatan hanya boleh dibuat dengan persetujuan oleh Komisi Tinggi India. Hal yang sama juga ada dalam kontrak kesepakatan dengan Filipina dan Kamboja tapi tidak ada dalam kontrak kesepatan dengan Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa melihat bagaimana keseriusan pemerintah dalam melindungi BMI di Malaysia. Poin pertama jelas menunjukkan kalau pemerintah tidak jeli dalam upaya mengamankan gaji/ upah di hari istirahat yang merupakan hak bagi BMI . Poin kedua mengenai jam kerja, lagi-lagi Pemerintah Indonesia juga lalai. Bagaimana mungkin Indonesia tak memberi batas waktu yang jelas bagi BMI untuk bekerja. Hal inilah yang mengakibatkan banyak BMI dieksploitasi dan hanya diberi waktu istirahat pendek. Terakhir, mengenai variasi pada konrak kesepakatan, Indonesia seharusnya memberi ketegasan bahwa kontrak kesepakatan hanya bisa divariasi oleh pemerintah yang mengurus perlindungan dan penempatan BMI. Ketidakjelasan mengenai siapa pihak yang harus menjaga kontrak kesepakatan tersebut, tentu sangat mungkin untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Pemaparan di atas, baru ditemukan dalam satu kontrak kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia. Lalu bagaimana dengan kontrak kesepakatan dengan negara lain? Kewajiban kawan-kawanlah untuk mulai membaca kembali dan bersikap kritis, terhadap MoU yang telah dibuat Pemerintah Indonesia dengan pemerintah di masing-masing negara penempatan BMI.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.