Dua BMI Hong Kong Lolos Tanpa KTKLN

Author

KTKLN
KTKLN

26 Februari 2013, dua Buruh Migran Indonesia (BMI), Rihannu dan Ida kembali berangkat ke Hong Kong dengan maskapai Cathay Pacific Airlines. Keduanya berhasil melewati Imigrasi tanpa Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) dan berikut adalah kisah mereka yang diceritakan oleh Rihannu dalam dinding Facebooknya.

“Setelah penerbangan selama hampir satu setengah jam dari Denpasar, akhirnya aku sampai di Bandara Soekarno Hatta. Mataku berputar mencari Ida yang tadi satu pesawat denganku dan sama-sama akan melanjutkan perjalanan ke Hong Kong dengan pesawat CX 776. Saat sedang menunggu bagasi claim, tiba-tiba Ida sudah berada di belakangku.” tutur Rihannu.

“Teh, punya KTKLN tidak?” tanyanya, mengagetkan aku yang sedang SMS-an dengan seseorang.

“Punya, tahun kemarin kan aku juga cuti, bikin di Bandung.”

“Mbak Ida tidak punya KTKLN ya?.” tanyaku basa-basi, padahal aku sudah tahu dari Victor kalau Ida ditolak saat akan membuat KTKLN di Bali.

“Iya, kemarin waktu mau bikin ditolak. Harus ada surat ijin dari keluarga lah, surat keterangan dari desa lah, surat keterangan dari Dinas Tenaga Kerja Banyuwangi-lah, mafan (repot).” jawabnya.

“Ya udah, ntar Mbak Ida duluan. Kalau dipersulit nanti saya bantu.” ujarku sok pahlawan.

Setelah semua barang bawaan berada di tangan, segera kami mencari tempat menunggu shuttle bus untuk melanjutkan perjalanan ke terminal 1. Sesampainya di terminal 1 ternyata kami salah tempat. Aku yang sudah nyelonong masuk setelah memberikan tiket untuk dicek petugas, harus keluar lagi saat petugas yang memeriksa tiket Ida mengatakan bahwa kami salah terminal.

“Ye, gimana sih yang memeriksa tiket? Lha tadi tiketku berarti nggak diperiksa tho?.” keluhku pada Ida.

“Iya, gimana sih!” Ida mengamini. Untung saja sebelum memasukkan koper untuk melewati pemeriksaan, aku menunggu Ida terlebih dahulu. Ternyata, si petugas yang tadi memperbolehkan aku masuk mengata kalau kami salah terminal.

“Memang, kita seharusnya di terminal berapa sih?” Aku memang sama sekali tidak meneliti tiket yang kupegang, repot dengan barang bawaan.

“Terminal satu,” Ida menjawab tak yakin sambil melihat kembali tiketnya.

“Eh, terminal dua wooo,” ralatnya. Kami tertawa, kemudian segera berlari ke tempat menunggu shuttle bus yang dapat membawa kami ke terminal 2.

“Sebentar Mbak,” tahan seorang petugas saat aku dan Ida akan cek in. Dia memasukkan moncong dari alat besar yang dipegangnya ke dalam mulut koper kami. Aku memandangi name-tagnya, berharap bisa mengingat nama petugas itu bila dia macam-macam. Ternyata hanya pemeriksaan biasa. Kami lalu antri untuk check in di konter Cathay Pasific.

Ida menyerahkan paspor dan tiketnya pada perempuan cantik di konter maskapai itu. Tadinya kupikir, petugas Cathay Pasific tidak akan menanyakan KTKLN, tidak seperti petugas di maskapai penerbangan “asli” Indonesia seperti Garuda. Namun, dugaanku salah.

“KTKLN-nya mana Mbak?” tanya petugas itu.

“Jawab aja ketinggalan, nggak tau dimana,” bisikku pada Ida. Ida pura-pura sibuk menggeledah tasnya.

“Aduh, nggak ada Mbak, nggak tau dimana,” jawabnya kemudian.

“Maaf Mbak, kalau nggak ada KTKLN saya nggak berani ngasih masuk, takutnya ditolak nanti di Imigrasi,” jawab si petugas.

“Nggak papa Mbak, kasih masuk aja, kan udah ada paspor dan tiketnya, nanti kami jelasin ke imigrasi. Saya ada kok KTKLN, cuma saya lupa nyimpennya di mana. Tadi kami buru-buru dari Denpasar, abis liburan.”

“Oh, mbak juga KTKLN-nya nggak ada ya?” Si petugas gantian menanyaiku.

“Saya punya, tapi lupa nyimpennya di mana. Kami abis liburan, tadi buru-buru ke sini, nggak tau deh ditaruh di mana.” Aku terpaksa berbohong. Padahal KTKLN-ku bersembunyi dengan manis di amplop putih di dalam tas. Aku tidak ingin mengeluarkannya demi solidaritas terhadap sesama BMI, sekaligus ingin menguji seberapa “ajaibnya” KTKLN itu. Kalau aku menyodorkan kartu itu, aku bisa lolos tanpa ditanya ini-itu, tapi itu sama saja aku menutup kesempatan bagi Ida untuk kembali ke Hong Kong dan mengkhianati para aktivis BMI (cieeee).

“Beneran punya KTKLN, bentuknya kayak gimana?” Petugas itu bertanya lagi.

“Iya mbak, KTKLN saya berlaku sampai 2013, nanti petugasnya bisa memeriksa kok. Atasnya merah, bawahnya biru.” Jawabku PD.

“Kayak gini, kan?” Si petugas menunjukkan contoh KTKLN.

“Iya,” jawabku mantap. Ida yang berada di sampingku diam saja.

“Ya udah, saya kasih masuk. Tapi nanti kalau ditolak di Imigrasi, mbak tolong balik ke sini temui saya ya,” pesannya.

“Ini kopernya kami pending (tahan) dulu ya,” lanjutnya seraya menyebatkan label kuning pada bagasi kami berdua.

“Kita berdoa Mbak Ida, tarik nafas lalu baca bismillah 7x,” ujarku pada Ida. Sebetulnya aku sendiri gugup (nervous), takut dipersulit dan tak bisa kembali ke Hong Kong. Apa boleh buat, aku harus nekad.

“Mbak Ida punya internet?, tolong inbok Fendy Ponorogo, minta nomornya Abdul Rahim Sitorus.” Sebelumnya, aku melayangkan sms ke Victor, meminta dia mencari nomor telepon pengacara yang biasa membantu para TKI itu.
Ida tak banyak bicara, hanya menyerahkan Iphonenya ke tanganku. Kuketik nama Fendy.

“Mbak Ida nggak temenan sama Fendy ya?”

“Nggak,” jawabya.

“Ya udah, Bustomi aja,” Aku ingat betul kalau Ida lumayan akrab dengan Bustomi. Maka, dengan memakai Iphone Ida, kuketik inbok ke Bustomi via Facebook.

“Tolong carikan nomor telpon Abdul Rahim Sitorus, Ida dipersulit karena KTKLN.” Aku menulis pesan itu dengan sedikit gugup. Di depan sana terlihat antrian TKW baru yang di tangan mereka tergenggam paspor plus KTKLN. Tak lama kemudian, Bustomi menelpon.

“Hallo, ini Victor ya?” tanya suara di seberang.

“Ini Rihanu,” jawabku tak sabaran.

“Ini bentar lagi Bu Sendra (dari KJRI Hong Kong) mau nelpon. Ini catat dulu nomornya Bu Nunung, sms aja namanya siapa, bilang lagi dipersulit karena KTKLN.” ujar Bustomi.

Aku mencatat nomor telepon yang diberikan, lalu mengirimkan sms seperti arahan Bustomi. Antara berani, geram, dan sedikit panik, aku kembali berkata pada Ida :

“Mbak Ida, kalau si petugas natap mata, tatap balik, jangan takut, baca arrrohmanrirrohiim. Kalau dia galak nggak usah takut, dia nggak berhak mencegah keberangkatan kita. Memang sih ada surat edaran dari BNP2TKI agar maskapai penerbangan dan imigrasi mengecek KTKLN para TKI yang bekerja ke luar negeri. Tapi sebetulnya BNP2TKI nggak berhak mencegah atau membatalkan keberangkatan kita, yang berhak adalah Menteri Tenaga Kerja (tentunya sesuai prosedur cekal yang diatur di Pasal 91 ayat 2 huruf f Undang-undang No.6 tahun 2011 tentang Keimigrasian).” Aku memberi penjelasan pada Ida sesuai dengan apa yang pernah kubaca, entah itu benar atau tidak, aku lupa, saat itu sebetulnya aku juga gugup.

Akhirnya, giliran Ida tiba. Kulihat dia menyerahkan paspornya pada petugas imigrasi. Aku sedikit lega karena Ida senyum-senyum ketika si petugas menanyainya. Dan Alhamdulillah, dia lolos!

Tiba giliranku, kuserahkan paspor dengan hati lumayan deg-degan, si petugas melihat ke arahku, memastikan wajahku sama dengan foto di paspor. Aku yang masih asyik sms-an dengan seseorang, lalu mengangkat muka. Tatapan kami bertemu, si petugas mesem, aku tersenyum.

“Mbak kerja di Hong Kong,” dia memulai pertanyaan.

“Iya,” jawabku

“Cuti ya?”

“Iya, liburan.”

“KTKLN-nya mana?”

“Aduuuh, nggak tau dimana, kami abis liburan di Bali. Saya punya KTKLN tapi lupa nyimpennya di mana. Bapak bisa cek kok, KTKLN saya masih berlaku sampai 2013,” Cerososku. Aku tahu pasti petugas itu tidak bisa mengeceknya, karena KTKLN itu tidak seajaib seperti yang digembar-gemborkan. Entahlah, apa gunanya kartu yang membuat banyak BMI takut pulang itu.

“Di sana ada yang mendampingi?” tanyanya lagi.

“Nggak, saya berdua kok sama mbak Ida, kami habis liburan.” Jawabku nggak nyambung.

“Maksudnya ada yang nganter gitu?” Tanya lagi

“Nggak, saya udah lama kok di sana, bapak bisa cek.”

“Permitnya mana?” Tanyanya. Kukeluarkan KTP Hong Kongku.

“Ya udah, nanti bilang aja mau ngurus dokumen, jangan bilang mau kerja ya,” ujar di petugas sambil mengulurkan pasporku.

“Ok, thanks. Good Luck.” Kuberikan senyuman termanisku padanya, lalu berhambur memeluk Ida yang sudah menungguku.

Huh, huh, huh! Kuhembuskan nafas panjang-panjang. AKhirnya, aku bisa lolos tanpa KTKLN. Cuma modal sedikit nekad, relasi, pengetahuan, keberanian, dan terutama doa!
Aku dan Ida bisa lolos, kamu juga bisa!
Sampai kapan KTKLN akan terus menghantui BMI, meski sekadar pulang menghabiskan waktu liburan cuti di tanah air?. Kebijakan KTKLN benar-benar merugikan. BMI lebih takut pulang ke negeri sendiri dari pada berangkat ke luar negeri,  ini dalah fakta yang benar-benar aneh.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.