Hujan Batu di Negeri Orang, Sengsara di Negeri Sendiri

Author

Serba susah! Demikian kondisi yang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), baik bekerja di luar negeri maupun di negeri sendiri mereka ditempatkan dalam posisi yang tak beruntung. Ibaratnya, hujan batu di negeri orang, di negeri sendiri tetap sengsara.

Masalah ketenagakerjaan seperti lingkaran setan. Laily (28), salah satu TKI asal Nusawungu yang pernah bekerja di Taiwan merasa dihinakan saat menginjak negerinya sendiri. Selama di Taiwan, ia bekerja sebagai petugas kebersihan gedung berlantai tujuh. Semua pekerjaan berat itu ia lakoni untuk mengubah nasib hidupnya. Namun, setiba di Bandara Soekarno-Hatta dia digiring petugas ke Terminal III untuk memasuki jaringan konspirasi baru. Mafia.

Di terminal III, dia tidak bisa pulang ke kampung apabila tidak menggunakan jaringan travel yang sudah ditentukan. Meskipun, sanak saudaranya telah menjemputnya para petugas tetap bergeming. Ia bersama buruh migran lainnya seperti narapidana atau orang asing tanpa paspor. Tanpa pilihan.

Lepas dari terminal III, Laily memasuki jebakan baru. Meskipun dirinya sudah membayar tarif travel yang telah ditentukan di tengah perjalanan semua tiket diminta oleh petugas berseragam. Ia dipaksa harus menukar mata uang asing yang dibawanya pada jaringan ini dengan nilai tukar yang mereka tentukan.

Sesampai di rumah, supir masih meminta biaya tambahan dengan alasannya bermacam-macam. Biasanya mereka menggunakan dalih letak rumah di luar kota. Untuk jarak yang tak terlalu jauh, mereka bisa meminta biaya ratusan ribu rupiah. Perlakukan yang dialami Laily masih mending, ribuan buruh migran lainnya mengalami nasib yang lebih buruk lagi.

Mahnetik dan Tradisi Berbagi

Kini, Laily aktif di Pusat Teknologi Komunitas (PTK) Mahnetik Cilacap. Ia menceritakan pengalamannya delapan tahun menjadi bekerja di luar negeri pada para calon buruh migran. Kisah Laily terus dilengkapi oleh para buruh migran lainnya. Ironisnya, sebagian besar para pelaku kejahatan atau tindakan diskriminasi justru berasal dari negaranya sendiri.

Berdasarkan pengalaman para buruh migran yang diaktif di PTK Mahnetik Cilacap, ada tiga perlindungan yang harus disiapkan oleh para calon buruh migran. Perlindungan pertama yang harus dimiliki calon buruh migran adalah ketrampilan bahasa dan kerja. Apabila para calon buruh migran memiliki dua ketrampilan tersebut maka mereka bisa memilih pekerjaan. Selain itu, buruh migran harus siap menjadi wirausahawan di luar negeri.

Perlindungan kedua adalah pengetahuan budaya dan hukum negara yang dituju. Lain lubuk lain belalang, lain kolam lain ikannya. Setiap negara memiliki tradisi yang unik dan beragam. Pengetahuan budaya membantu para buruh migran untuk cepat beradaptasi. Pengetahuan hukum sangat penting supaya mereka bisa mengakses ruang-ruang perlindungan apabila mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan.

Benteng terakhir adalah teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Lewat TIK, buruh migran bisa belajar dan mengembangkan potensi dirinya, termasuk mengembangkan kapasitas untuk peningkatan perlindungan pertama dan kedua.

Peran utama PTKĀ  Mahnetik tentu pada perlindungan yang ketiga. Namun, perlindungan ketiga akan terasa hampar bila tidak ada kesinambungan dengan perlindungan pertama dan kedua. Kuncinya adalah pengelolaan informasi dan pengalaman untuk memperkuat posisi buruh migran.

Yossy Suparyo, Koordinator Pusat Sumber Daya Buruh Migran

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.